Technology

3/Technology/post-list

Life Beyond Expectation: Tentang Kebaikan Berbagi dan Cara Mewariskannya

Saya selalu meyakini bahwa hidup saya ini susuk. Saya tidak memiringkan kata susuk karena ia sudah termasuk lema dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Ada banyak pengertian susuk dalam KBBI, tetapi saya memilih definisi susuk dalam bahasa Jawa karena sesuai dengan konteks yang saya bahas. Susuk berarti uang kembalian, yakni uang sisa pembayaran yang harus diserahkan kepada pembeli sebab nominalnya melebihi nilai transaksi.

Saya sebut hidup saya susuk karena banyak sekali yang terjadi di luar ekspektasi atau harapan pribadi. Saya pakai kata susuk untuk menggambarkan pengalaman hidup sebab kejadian demi kejadian begitu luar biasa, melebihi apa yang saya bayangkan. Agar lebih jelas, izinkan saya mengelaborasi dengan menampilkan beberapa contoh riil.

Sebut saja status saya sebagai suami. Saya tak pernah berpikir akan bisa menikah lantaran merasa tak punya wajah menawan atau kelebihan yang bisa diunggulkan. Entah kemampuan atau kekayaan, dua-duanya rasanya jauh dari kapasitas saya. Sudah pasrah untuk hidup melajang salah satunya juga pernah kecewa karena gagal menikah.

Semua berubah ketika usia menginjak 26 tahun; saya bertemu calon istri di tempat kerja—suatu kantor penerbitan di bilangan Ciawi, Bogor. Dia mau menerima saya apa adanya, dan saya ibarat mendapat durian runtuh karena mendapat jodoh tak terduga. Rezeki tak ternilai sebab kami akhirnya menikah. Istri saya seorang penyintas kanker payudara yang telah bertahun-tahun menjalani terapi setelah gagal berumah tangga akibat KDRT.

MELAMPAUI IMPIAN

Saya sendiri sejak kecil sering sekali sakit-sakitan. Masih jelas terngiang ujar mendiang ayah dulu, “Kalau kita diuji dengan sering sakit, insyaallah kita akan diberi kelebihan nanti.” Saya hidup dengan optimisme itu sampai suatu titik saya menyadari, atau tergoda menyimpulkan, “Jangan-jangan kelebihanku ya karena sering sakit itu. Tak lebih.” Mungkin terdengar seperti seorang fatalis, tapi itulah yang terjadi sampai saya menikah.

Delapan tahun didera ISK alias Infeksi Saluran Kemih yang sangat menyiksa bukanlah perkara mudah bagi saya. Bisa bekerja di Bogor sejak tahun 2006 sungguh sebuah anugerah. Tahun 2005 pernah ada tawaran kerja ke Sumatera tapi harus saya batalkan akibat keterbatasan sakit ISK itu. Sewaktu masih di Bogor pun sempat ditawari bekerja di lembaga pembiayaan yang berbasis di Amerika untuk bekerja di perwakilan Jakarta. Sayangnya jam bekerja tidak memungkinkan sehingga tawaran itu pun melayang.

Intinya pernikahan kami sungguh sebuah nikmat tak terkira. It’s completely beyond our expectation or wildest dream. Maka tak ada alasan untuk tak bersyukur atas rezeki berupa jodoh. Kami semakin bersyukur ketika Allah menganugerahi dua jagoan lucu yang kini duduk di kelas 3 dan 1 SD. Rasa syukur tak henti kami panjatkan sebab kami sudah sumeleh, sudah pasrah untuk tak memiliki momongan. 

Semua itu lantaran kondisi kesehatan kami masing-masing. Istri telah menjalani medikasi selama dua tahun dengan banyak asupan obat yang disinyalir memengaruhi kesehatan reproduksinya. Sementara saya sendiri hidup dengan ISK sudah selama 20 tahun. Keadaan semacam itu menjadi permakluman bahwa kami tak berani mengharapkan keturunan. 

Sebab itulah kami sebut hidup kami susuk, sudah melebihi ekspektasi: dengan diberi pasangan yang saling menguatkan dan bahkan dua anak yang menjadi pewaris kebaikan. Sejak saat itulah kami bertekad untuk #menebarkebaikan sebab kami diberikan lebih dari apa yang kami idamkan.  

KURSUS BAHASA INGGRIS GRATIS

Langkah kecil kami dimulai dengan mendirikan Bright English Institute (BEI) di Kampung Cibolang, Desa Banjarwangi Kecamatan Ciawi. Anak-anak kompleks dan kampung sebelah rata-rata berasal dari kalangan ke bawah. Orangtua mereka bekerja sebagai tukang ojek, buruh tani, buruh pabrik, satpam, penjual cilok, dan semacamnya. Maka kami gratiskan belajar bahasa Inggris di BEI.

Anak-anak senang sekali belajar di sana sampai berjalan sekitar 3 tahun karena kami harus pindah rumah. Setiap Minggu sore mereka bersemangat datang untuk belajar dan bermain bersama di rumah kami yang mungil. Sesekali orangtua mereka menitipkan bawang merah, jagung manis, rengginang, dan aneka sayur atau buah dari kampung. Kami gembira karena itu berarti orangtua turut serta memikirkan pendidikan anak mereka.

Pengalaman secuil itu mengajarkan kami tentang kebaikan berbagi. Tentang betapa perbuatan sekecil apa pun punya manfaat yang sangat berarti bagi orang lain, bahkan saat kita tak menyadarinya. Kami mulai menyadari bahwa fakta-fakta tentang kebaikan mulai menampakkan diri dan harus kami yakini kebenarannya. 

1 | Kebaikan itu menular

Bukan hanya peserta didik yang kegirangan, tapi ada satu rekan kantor yang datang hampir pada setiap kesempatan setiap pekan. Rekan editor ini asli Solo dan sayalah dulu yang membimbingnya saat ia kali pertama bergabung di perusahaan. Jadilah hubungan kami cukup erat. Ia pun bersahabat dengan istri saya.



Sesekali ia mendapat giliran mengajar saat saya berhalangan. Pengalaman itu rupanya membekas di hatinya. Setelah BEI terhenti, ia kemudian aktif di komunitas Anak Manggarai yang ia kenal dari Jambore Anak Jalanan. Sampai sekarang ia masih aktif mengajar di sana dan tak lelah berjeraring dalam kebaikan.

Banjir tak terduga

Kebaikan yang menular juga terbukti belum lama ini. Sepekan yang lalu kami sekeluarga mendapat musibah. Sungguh tak terduga jika kami harus kebanjiran. Hujan deras selama tiga hari berturut-turut, ditambah drainase perumahan yang burukjuga jebolnya tanggul di kampung sebelahturut memperparah banjir tahun ini. Tahun lalu air hanya tergenang di jalan depan rumah, tapi minggu lalu air masuk ke rumah hingga 20 cm.


Akhirnya kami mengungsi ke rumah ibu. Untunglah hanya beda kecamatan, yang bisa kami tempuh sekitar 20 menit dengan menumpang kendaraan adik ipar. Malam hari setelah mengungsi, saya sempat mengunggah kondisi banjir di status WhatsApp (WA). Rupanya seorang teman bloger asal Sidoarjo membaca status tersebut.

Ia lantas mengirimkan pesan berisi simpati atas musibah yang kami alami. Sebagai bentuk pertolongan, ia menawari saya pekerjaan di medsos, bidang yang memang saya geluti selain blogging. Saya tentu langsung menyambut tawarannya dan menceritakan bahwa fee-nya akan saya manfaatkan untuk membeli nasi bungkus. Terbayang nasib para tetangga dan teman yang tak punya tempat mengungsi di tengah banjir. Nasi siap santap akan sangat menyenangkan hati mereka.

Di luar dugaan, teman bloger tadi bersedia mengirimkan fee seketika itu juga bahkan sebelum tugas saya rampungkan. Setelah mengirimkan nomor rekening, dia mengonfirmasi pentransferan. Yang bikin mata terbelalak, uang yang ia kirimkan ternyata dua kali lipat dari nominal fee. Lewat WA ia berkirim pesan lagi bahwa sisa uang ingin ia sumbangkan untuk teman-teman saya yang terdampak banjir. Subhanallah, mendadak mata saya meleleh karena terharu.

50 nasi bungkus 

Terbukti betul bahwa kebaikan memang menular. Saya segera memesan nasi bungkus untuk dibagikan esoknya. Karena menumpang di rumah adik, saya pun meminta rekomendasi di mana saya bisa memesan nasi bungkus yang enak dan cepat. Dia sigap memesankan ke langganannya yang ternyata sanggup memasak untuk esok pagi.

Tanpa saya sangka, adik memesan nasi bungkus jauh lebih banyak dari honor saya plus titipan donasi dari teman bloger. Total ada 50 nasi bungkus yang bisa saya bagikan besok siangnya. Adik hanya mengangguk sambil tersenyum saat saya tanya apakah ia menambah uang pada nasi yang dipesan sehingga jumlahnya membengkak cukup banyak. Alhamdulillaah....  


Nasi bungkus di saat banjir, mengusir lapar berkat donasi.

2 | Kebaikan itu menghadirkan solusi

Akhir tahun 2016 kami harus pindah ke Lamongan, meninggalkan Bogor yang telah kami huni selama sebelas tahun. Demi dekat dengan ibu, kami pun segera memilah barang-barang, mengemas mana yang bisa dibawa dan menghibahkan untuk teman atau tetangga. Masalah muncul ketika sebagian besar barang telah siap tapi moda pengangkut belum juga kami dapatkan.

Menyewa truk ekspedisi bisa saja solusi terbaik karena praktis dan tepercaya. Namun setelah browsing di Internet dan tanya sana-sini, biaya pindahan menggunakan truk jasa logistik resmi semacam itu ternyata cukup besarpadahal kami sedang melakukan pengiritan. Nominal pengiriman bisa kami manfaatkan untuk kehidupan baru nanti di kota tujuan.

Tunggakan SPP jutaan rupiah

Di tengah kebingungan, Bu Karminatetangga dari kampung sebelahberkunjung suatu pagi. Ia datang untuk meminta pekerjaan domestik. Ia setengah memaksa; mau mengepel, menyapu, menyeterika, bersih-bersih, pokoknya apa pun demi dapat uang guna membayar tunggakan SPP anaknya. Suaminya sudah beberapa hari tak mengayuh becak karena becaknya rusak. Anak SMK-nya tak mau sekolah karena malu telah menunggak berbulan-bulan. 

Kami sebagai freelancer tak punya banyak uang. Istri akhirnya mengangsurkan sedikit uang agar Bu Karmina bisa membeli beras untuk beberapa hari. Senyum membuncah di wajahnya. Namun hati kami kecut sebab tak bisa membantu banyak. Saya lantas teringat sebuah Lembaga Amil Zakat (LAZ) tak jauh dari rumah. Kami kebetulan jadi donatur untuk anak asuh di sana.



Segera saya meluncur ke kantornya dan menceritakan masalah Bu Karmina. Mereka berjanji menindaklanjuti walau tak menyanggupi menutup seluruh tunggakan. Tak lama berselang, tim LAZ lalu menyambangi Bu Karmina untuk mendata dan wawancara. Sungguh tak terduga, lembaga itu ternyata berkenan melunasi seluruh tunggakan. Bu Karmina pun datang ke rumah untuk tak hentinya berterima kasih.

Kisah Bu Karmina adalah bukti betapa besar manfaat zakat untuk mengatasi masalah umat. Problem pendidikan yanag dialami anak Bu Karmina bisa dipandang sebagai beasiswa karena sebagian ulama membolehkan jatah fi sabilillah untuk kebutuhan beasiswa, apalagi Bu Karmina termasuk kategori keluarga miskin.


Truk pindah murah meriah

Beberapa hari kemudian, kakak menelepon bahwa dia berhasil mendapatkan truk dengan harga terjangkau. Truk itu membawa sayur dari Banyuwangi ke Jakarta sehingga saya bisa memanfaatkannya untuk mengangkut barang-barang, termasuk motor. Syukur alhamdulillah, truk itu pun datang akhir Januari 2017 dalam keadaan bersih dan prima. Barang-barang saya meluncur dari Bogor dan tiba di Lamongan dengan selamat sehari kemudian.


3 | Kebaikan itu mendatangkan rezeki

Bukan rahasia lagi, berbuat baik mampu mendatangkan rezeki tak disangka-sangka. Pengalaman saya pribadi menegaskannya. Untuk rezeki dalam hal ini, yang saya maksud tentunya luas maknanya. Bukan cuma uang, tapi juga barang atau kesempatan.

Amplop berisi uang

September tahun lalu si bungsu ikut khitanan massal di Masjid Namira yang masyhur itu. Seperti biasa, setiap Jumat pagi saya ikut berbagi nasi bungkus lewat komunitas yang saya ikuti selama dua tahun, yakni Nasi Bungkus Community. Sebetulnya, badan agak meriang sehingga rasa malas menggelayuti. 

Saya tetap pergi karena Jumat pagi jarang ada relawan yang bisa hadir lantaran berbagai kesibukan. Biasanya hanya ada dua atau tiga, antara lain saya dan bendahara. Saat pamit pulang selepas ngider nasi, dia mengulurkan amplop untuk anak saya yang baru dikhitan. Saat dibuka di rumah, wow, jumlahnya besar sekali. Andai saya batal berangkat ngider, mungkin rezeki sebesar itu akan melayang. Mungkin....

Honor dibayar dengan cepat

Langkah saya lunglai ketika naik kereta dari Surabaya ke Lamongan setelah reportase sebuah acara. Lesu karena saldo ATM menipis sementara fee banyak yang mundur. Wajah saya mendadak semringah ketika sebuah email mengabari saya lolos untuk menulis tema tertentu. Faktor kelolosan utama adalah punya page khusus di blog yang membahas pembelajaran bahasa Inggris.

Saya ingat pernah membuat page bertajuk English Nook berisi pembelajaran bahasa Inggris gratis yang bisa dimanfaatkan teman-teman bloger lain atau pembaca umum untuk bertanya apa saja seputar bahasa Inggris. Tak dinyana ternyata page itu mendatangkan rezeki; honor lumayan dan bahkan dibayarkan hanya beberapa hari begitu tulisan saya selesaikan. 

Pengusiran yang memilukan

Bulan Oktober saya bertolak ke Pemalang Jawa Tengah untuk mengikuti Kelas Inspirasi (KI) di sana. Ini adalah KI ketiga yang saya ikuti, setelah Lamongan dan Ponorogo. Sayangnya saldo sedang tipis tapi saya mesti berangkat sebab sudah dinyatakan lolos. Berangkat dengan biaya sendiri, pulang pergi naik kereta.


Kelas Inspirasi Pemalang #3 meninggalkan pengalaman dan kesan sangat mendalam.

Untunglah, saat transit di Semarang untuk Jumatan seorang teman kuliah yang sedang mudik berkenan menjemput di stasiun dan mentraktir saya makan sepuasnya. Setiba di Pemalang seorang teman bloger asal Pemalang menghadiahi saya satu karton besar berisi teh tubruk melati yang memang kami gemari. Masyaallah, apakah traktiran dan hadiah teh akan tetap saya terima andai saya tak beranjak ke Pemalang?

Yang tak terlupakan adalah insiden pengusiran oleh ayah seorang relawan. Lazimnya relawan Kelas Inspirasi dipersilakan menginap di rumah relawan setempat untuk menunggu jadwal keberangkatan kereta yang tak jarang bertolak Subuh hari. Sayang sekali selepas magrib ayah teman ini menolak kehadiran saya. Alasannya karena mereka belum mengenal saya betul-betul. Belum lama ini, menurut sang ayah dalam bahasa Jawa Ngapak yang saya pahami, ada kasus penyisipan narkoba di rumah warga akibat menerima tamu asing yang menginap. 

Rupanya saya dicurigai dan memang beliau belum mengenal dunia kerelawanan. Saya bahkan sempat diminta menyerahkan KTP. Saya pun melipir ke masjid sebelah rumahnya untuk ikut shalat Isya karena rumahnya sedang langka air. Kalut, saya pun mengontak panitia lokal agar mencarikan solusi mengingat saya tak punya dana untuk menginap di hotel atau homestay sekalipun. Syukurlah, Pak Harun selaku sesepuh KI Pemalang berkenan menampung saya di rukonya. Saya bisa beristirahat di antara deretan laptop karena ruko itu adalah tempat servis laptop dkk.

Paket besar dari Jakarta


Selepas Subuh saya meluncur ke Semarang naik kereta, disambung kereta lain menuju Lamongan. Tiba di rumah, pengalaman nano-nano itu saya kisahkan kepada istri yang justru memberi saya selamat. Itu pengalaman berharga, katanya. Ucapan selamat kedua adalah atas diterimanya dua paket dari Jakarta. Begitu membuka peti kayu itu dan melihat isinya, saya kegirangan dan langsung bersujud.

Sebuah smartwatch canggih dan kamera mirrorless tampak memesona di dalamnya. Sungguh tak terduga jika barang ini akhirnya datang. Enam bulan sebelumnya saya dan istri ikut program menulis di portal Ramadhan milik sebuah merek produk consumer yang berskala global. Hadiah yang dijanjikan tak kunjung dikirim bahkan sempat tak ada kejelasan sehingga kami merelakannyatak berani berharap lagi.

Jika akhirnya paket itu datang, itu mungkin buah aksi kerelawanan sebagai pelicin atau booster agar hadiah itu benar-benar datang. Dua hari kemudian dua paket lebih besar datang dari perusahaan yang sama; berisi mixer dan magic com digital yang multifungsi. Jangan tanya betapa gembiranya kami dengan rezeki ini. Sebagian kami uangkan, sebagian lagi dipakai oleh adik di rumah ibu.

Apakah ada alasan untuk menunda saat kita mampu menebar kebaikan?   

4 | Kebaikan itu menghadirkan inspirasi dan mengayakan hati

Fakta lain tentang kebaikan adalah bahwa ia mampu menginspirasi siapa pun, entah relawan atau donaturnya. Ini terbukti dari pengalaman saya ikut KI di Pemalang. Pak Harun yang sempat menampung saya di rukonya ternyata lelaki hebat. Beliau tak punya anak, tapi berkomitmen untuk membekali anak-anak muda dengan keterampilan. Dia cari siapa pun yang mau belajar tentang reparasi laptop untuk ikut minimal 5 tahun. Disekolahkan pula, makan pun gratis sepuasnya. 

Pak Harun membagikan kisah kesuksesan dan membangun semangat kemandirian.

Untuk mereka disediakan kos khusus, terpisah laki-laki dan perempuan dan bahkan akan digaji setiap bulan yang nilainya besar untuk ukuran Pemalang. Apalagi gaji itu utuh mengingat makan mereka gratis dan masih ditambah bonus pengerjaan setiap kali mereka tuntas atau berhasil mereparasi laptop dari pelanggan. 

Saya bergumam, "Wah, enak betul!"  Saya menyerap energi positif dari Pak Harun bahwa kebaikan berbagi menular dan menginspirasi. Fragmen itu sungguh mengayakan hati. Pak Harun adalah contoh lelaki yang nyata menebar kebaikan demi membangun kemandirian. Kepeduliannya tanpa pamrih karena didasari cinta kasih.

5 | Kebaikan itu menyehatkan


Saya pernah cerita tentang pasutri tetangga yang kaya raya di dusun kami. Pak Mo dan Bu Mosebut saja nama mereka demikian. Sebagai orang terkaya, mereka rajin bersedekah dan membantu sesama. Masjid dan panti mereka tolong, tetangga yang tak mampu mereka dukung agar mandiri. Allah rupanya menguji keduanya dengan penyakit: Pak Mo kena diabetes sementara Bu Mo menderita sakit empedubahkan pernah dioperasi.

Namun tak sekali pun terdengar keluhan dari mereka akibat penyakit itu. Bahkan saya tak pernah melihat pendar kesedihan atau rasa sakit setiap kali bertemu mereka. Saya yakin itu berkat kemurahan hati mereka sehingga Allah tetap memelihara mereka dalam kelapangan rezeki dan kebugaran raga meskipun diuji sakit. Saya yakin kebaikan berbagi telah berkontribusi pada kesehatan meeka hingga kini. Sebagaimana saya sendiri yang merasa semakin sehat saat bersedekah selepas Subuh setelah mendengar tausiyah Syaikh Jabir di televisi walaupun masih sulit konsisten.

6 | Kebaikan itu menenteramkan hati

Berbuat baik, dalam bentuk apa punentah uang, tenaga, atau pikiranselalu membuat hati tenteram. Pikiran tenang dan hati adem, itulah yang terasa setiap kali menuntaskan aktivitas sosial di mana pun. Tahun 2012 kami pernah kelaparanhanya pegang uang 10.000akibat honor mengedit dan menerjemahkan buku yang tak kunjung dibayar. Padahal si bungsu baru seminggu lahir dan motor kami yang sudah lunas dicuri orang saat belanja di minimarket.

Itulah alasan saya ikut aneka kegiatan berbagi nasi, seperti Bernas di Bogor dan NBC di Lamongan. Orang kelaparan sangat menyedihkan, tak berani meminta tapi perut melilit seolah tiada harapan. Kalau tak menjaga hati, bisa-bisa bertindak kejahatan atau rela meninggal dunia seperti yang terjadi di Tangerang beberapa waktu lalu akibat kelaparan. Sungguh tragis jika ada orang yang perutnya sakit karena kelaparan sementara orang lain sakit perut karena kekenyangan.

Perasaan itulah yang melingkupi jiwa raga serampung membagikan nasi atau bantuan lain baik bersama komunitas maupun secara pribadi. Ada kepuasan yang tak tergambar dalam kata-kata tatkala melihat senyuman orang-orang yang menerima. Sama bahagianya ketika saya tuntas mendongeng di depan anak-anak korban gempa di Desa Cibunian Kecmatan Pamijahan Bogor akhir 2013 silam. 


Andil kecil untuk menumbuhkan semangat agar tidak kerdil.

Atas ajakan sebuah LAZ, saya berangkat bersama dengan membawa alat peraga dan buku-buku cerita untuk dibagikan di sana. Bukan hanya antusias mendengarkan dongeng agar mereka tidak trauma, anak-anak juga semringah ketika menerima hadiah tas sekolah beserta alat tulis, juga susu, sosis, mi instan, dan amplop berisi uang. Adakah yang lebih menenteramkan dibanding kepuasan batin melihat keceriaan wajah mereka di dataran tinggi yang sejuk itu yang jalannya terjal berkelok di sisi jurang nan tajam?   

CARA MEWARISKAN KEBIASAAN BERBAGI

1 – Menonton video atau tayangan teladan

Sebagai generasi Z yang sering dibilang sebagai digital natives, anak-anak perlu didorong untuk mengikuti kebiasaan berbagi melalui media digital, seperti video di Youtube atau aplikasi yang mendidik. Jika tersaji secara visual dengan warna memikat dan gerak yang dinamis, juga audio yang mumpuni, mereka akan cenderung tertarik dibanding membaca buku misalnya. Ini tentu saja bukan mengurangi peran buku, melainkan langkah awal saja. 

Dua anak kami sangat menikmati serial animasi Nusa di kanal Youtube dan tak jenuh memutar tayangan lagu Waheshna yang dibawakan oleh Maher Zain. Bagian paling menyentuh tentulah saat bapak penjaja jagung memberikan jagung gratis kepada anak yang tak bisa membayar—yang patut diduga anak yatim atau dhuafa. Anak-anak lain yang turut membeli lalu menyadari bahwa bapak pemurah ini ingin berangkat ke Tanah Suci. Mereka lantas sepakat untuk menggalang dana dan mengutarakan niat itu kepada orangtua.



Gayung bersambut, para orang dewasa mendukung ide itu sepenuhnya. Oh, sungguh mengharukan ketika anak-anak berhati malaikat ini berhasil menghimpun dana dan membelikan tiket umrah untuk bapak penjual jagung yang ingin berjumpa Kakbah. Diputar berulang, dengan melodi yang rancak, lagu ini sering membuat saya menitikkan airmata. Takjub akan kebaikan anak-anak yang berinisiatif berbuat baik, juga karena saya merindukan Kakbah seperti sang bapak.

2 – Ajak ke lapangan

Cara berikutnya adalah mengajak anak-anak untuk terjun langsung ke lapangan. Dahulu ketika masih aktif di Bernas (Berbagi Nasi) Bogor, sesekali kami libatkan anak-anak saat kami menyisir jalanan Bogor pada malam hari setiap Jumat pekan kedua dan keempat. Mereka turut mengangsurkan nasi untuk orang-orang tak beruntung, yang menginap di emperan toko sepanjang Jalan Suryakencana—atau yang rebahan karena sakit di emperan ruko Jl. Merdeka tak jauh dari Stasiun Bogor.

Cara itu terbilang ampuh. Mereka tak perlu mendapat penjelasan yang menggurui sebab telah melihat secara langsung dan memberikan penilaian sendiri. Menolong orang tidak butuh bahasa yang rumit. Meringankan beban sesama tak butuh langkah jelimet agar bisa sampai. Bahasa kasih sayang begitu gamblang dan lugas apa adanya sehingga anak-anak pun bisa dilibatkan dengan tetap bersyukur dan percaya diri.   

3 – Mengenalkan pada sosok pemurah

Setelah menikmati video inspiratif dan punya pengalaman terjun langsung untuk berlatih bersedekah, anak-anak bisa dikenalkan kepada orang atau sosok yang bisa mereka teladani. Berbeda dengan tayangan video karena seolah ada jarak, lewat cara ini anak-anak dapat berinteraksi langsung dengan sosok pemurah itu. Tak harus orang yang punya nama atau popularitas secara sosial. Tetangga atau teman kita sendiri pun cukup.

Selain pada pemilik Masjid Namira yang sangat baik hati, saya mengenalkan anak-anak pada bendahara NBC yang juga pemurah, bukan hanya kepada karyawannya sendiri tetapi juga pada rekan sesama relawan dan orang asing. Dia memang ringan tangan, tak segan memberi atau membantu. Dulu dia bekerja di bank konvensional dengan gaji besar lalu berhenti karena konon ingin menjauhi praktik ribawi. Kebetulan ia punya usaha sehingga jadi tempat orang meminjam uang. Selain di NBC, ia pun aktif sebagai relawan di Masjid Namira yang fenomenal itu. Ramadhan tahun ia setidaknya belasan juta ia gelontorkan untuk paket sembako buat dhuafa yang terdampak Corona.  

4 – Menabung untuk beramal

Langkah yang tak kalah produktif adalah mengajak anak menabung dengan tujuan beramal. Saya sebut produktif karena manfaatnya berlipat. Selain membangun pribadi hemat dengan menahan keinginan, menabung akan memudahkan mereka menyumbang dalam jumlah besar—tentu sesuai kekuatan logis mereka. Ada kebanggaan tersendiri saat mereka menyisihkan uang untuk kegiatan amal. Entah untuk korban bencana atau bahkan sesederhana mentraktir temen sekelas yang tak punya ayah.

Agar lebih bersemangat, tak ada salahnya kita tawarkan reward atau imbalan jika target tertentu tercapai. Imbalan tak harus berupa uang, tapi menyangkut hal yang mereka sukai. Misalnya ditraktir di kedai favorit sepuasnya, dibelikan buku sesuai keinginan, atau dibantu membeli mainan yang selama ini diincar. Dengan cara seperti ini, mereka akan belajar menahan diri sekaligus berempati sehingga perlahan-lahan memahami makna berbagi.

5 – Tokoh sejarah penyayang

Kiat lain yang kami terapkan agar anak semangat berbagi adalah lewat perkenalan dengan tokoh-tokoh penting dalam sejarah. Penting di sini maksudnya punya kualitas unggul yang layak diteladani. Entah lewat buku atau browsing di Internet, mereka sama-sama menikmati. Yang paling sering tentu sejarah Nabi Muhammad dan para sahabat yang terkenal pemurah dan penuh kasih sayang. Dilanjutkan dengan para pengikut yang lebih jauh hingga nama-nama yang sering diceritakan dalam buku tasawuf atau kisah teladan.

Menebar kebaikan adalah gerakan lintas wilayah dan keyakinan. Tak terbatas oleh sekat geografis, agama, atau kebangsaan. Tokoh-tokoh terkenal seperti Mother Theresa, Jack Ma, atau filantropis dunia seperti Bill Gates juga bisa menjadi sumber inspirasi agar cakrawala berpikir mereka berkembang luas dan semangat menebar kebaikan semakin membuncah tanpa khawatir menderita hanya karena membantu sesama sebab contoh-contoh nyata telah hadir begitu meyakinkan. Apalagi melihat Bill Gates yang bukan hanya gemar beramal, tetapi juga pebisnis dan ilmuwan yang bisa memantik kreativitas mereka untuk mengejar aspirasi yang sama.




Keluasan rezeki vs keluasan hati

Ternyata berbagi begitu menyenangkan, bahkan punya manfaatkan ganda bagi anak-anak saat tokoh yang diperkenalkan ternyata punya profesi yang mengagumkan. Melihat kembali perjalanan kami sebagai pasutri, hidup kami jelas beyond expectation: sungguh sangat kami syukuri karena begitu banyak yang kami peroleh tidak melulu dalam bentuk materi. Saya jadi merenungkan frasa yang sudah kadung populer dalam masyarakat sosial kita.

View this post on Instagram

Siapa yang tak sabar menyambut bulan suci Ramadhan? Saat pahala kita dilipatgandakan oleh Allah SWT dan bertabur berkah di dalamnya. Menyambutnya dengan bahagia, jangan lupa untuk laksanakan juga kewajiban berzakat. Agar harta bersih dan mengalirkan manfaat bagi yang melaksanakan ataupun yang menerimanya. Setiap 2,5% dari penghasilan atau harta yang kita miliki (sesuai ketentuan nisab), terdapat hak dari mereka yang tak mampu. Zakatmu yang disalurkan melalui lembaga, akan membantu mereka yang tidak mampu kembali berdaya. Di bulan ini, kami memberi hormat pada para perempuan yang berdaya untuk pengembangan ekonomi mandiri. Karena mereka juga adalah orang-orang yang terdampak secara ekonomi akibat pandemi corona. Tunaikan zakat awal waktu, melalui donasi.dompetdhuafa.org Bisa juga klik link di bio Atau melalui transfer bank: BNI Syariah 444.444.555.0 BCA 237.301.8881 A.n Yayasan Dompet Dhuafa Republika. #dompetdhuafa #menebarkebaikan #viruscorona #covid19 #covid19indonesia #melawancovid19 #CekalCorona #cegahtangkalcorona #CukupDariRumah #lawancovid19 #lawancorona #zakat #zakatdidompetdhuafa #zakatdompetdhuafa #zakatdikitaaja #kebaikanzakat
A post shared by #DompetDhuafa Lembaga Zakat (@dompetdhuafaorg) on

Selama ini kita akrab dengan kalimat, “Silakan yang punya keluasan rezeki untuk bisa menyumbang atau membantu saudara kita yang kekurangan.” Setelah dicek dengan kisah-kisah nyata di lapangan, ternyata frasa keluasan rezeki kurang tepat dipakai. Tak jarang saya lihat orang-orang yang tidak kaya—bahkan hidupnya sendiri pas-pasan—tetap mau beramal atau bersedekah. Sebaliknya, tak jarang pula orang yang berlimpah harta tapi pelit luar biasa sebab merasa hartanya baru sedikit dan takut berkurang kalau harus bederma.

Frasa yang tepat menurut saya adalah keluasan hati. Sebab kenyataan membuktikan bahwa jika hati seseorang begitu lapang, luas dalam menampung rahmat Allah, maka sesedikit apa pun hartanya maka ia akan tergerak untuk membantu. Kalau fokus pada tercapainya keluasan rezeki, mungkin akan sulit bagi kita untuk bisa berbagi lantaran merasa terus kurang dan kurang. Dengan demikian keluasan hati adalah sebuah sikap mental yang harus kita definisikan sendiri sebagai sebuah identitas yang membuat kita siap berbagi kapan saja, di mana saja, dalam kondisi apa saja. Insyaallah!  

Share:

Beberapa Alasan Orang Tidak Mengungsi Saat Rumahnya Kebanjiran

Pekan ini menjadi waktu yang berat buat kami sekeluarga. Hujan deras selama tiga hari membuat banjir tak bisa kami hindari. Banjir menjadi hal mengejutkan karena saya yang sejak kecil tinggal di Lamongan tak sekali pun pernah kebanjiran. Apalagi banjir di perumahan kali ini cukup parah: air sampai masuk ke rumah di atas mata kaki orang dewasa kira-kira setinggi 20 cm.

Tahun lalu rumah kami nyaris kebanjiran, air tergenang di jalan depan, tak sampai masuk ke teras. Tahun ini jauh berbeda. Bukan hanya genangan yang lebih dalam, tapi cakupannya begitu luas. Mulai dari teras, ruang tamu dan kamar tidur, hingga kamar mandi dan dapur. Teras diserang air dari arah depan, yang kebanyakan akibat luberan air tambak. Ruang tamu dan kamar tidur kebanjiran karena air merembes dari tepian ubin yang mungkin tak rapat. Sementara dapur terendam akibat tumpahan air dari lubang pembuangan ke selokan.

Banjir tak bisa dihindari, manusia sudah turut lalai.

5 alasan orang tak mengungsi

Karena tak bisa beraktivitas normal, kami pun memutuskan mengungsi ke rumah adik yang juga dihuni ibu. Tempatnya lebh tinggi dan sama sekali belum pernah kebanjiran. Berbeda dengan kecamatan kota yang ternyata langganan banjir. Walaupun kami mengungsi, ada pula sejumlah warga dan tetangga yang memilih bertahan di perumahan dengan berbagai alasan.

1 | Tak ada tempat lain

Sebagian tidak mengungsi karena mereka tak punya pilihan lagi selain bertahan di rumahnya yang kebanjiran. Mungkin orangtuanya jauh, atau tak mungkin pindah ke penginapan karena faktor biaya. Akhirnya mereka memilih berdiam di blok rumah masing-masing dengan membentuk posko di rumah yang tidak kemasukan air.

2 | Menikmati kebersamaan

Alasan lain mengapa orang tidak mengungsi walaupun rumahnya kebanjiran adalah ingin menikmati momen kebersamaan bersama tetangga. Itulah yang saya tangkap dari sekilas pandang saat mengevakuasi barang kemarin siang. Kapan lagi mereka bisa melewati masa berharga dengan memasak bersama dan tinggal begitu berdekatan.

Sayangnya, ini malah bertentangan dengan larangan physical distancing yang digencarkan pemerintah akibat wabah corona yang tengah mendera. Bukan hanya potensi wabah yang mengintai, tetapi ancaman penyakit lain juga ada. Gatal-gatal adalah problem utama. Belum lagi masalah medis akibat sanitasi yang tidak steril. Lebih-lebih jika ada penghuni balita atau manula, bahayanyaa bisa berlipat ganda.

3 | Menjaga barang

“Saya dan istri tidur di sini khawatir kalau-kalau air datang jadi nanti kami bisa urus barang,” ujar seorang tetangga kemarin. Anak balitanya sudah diungsikan ke rumah orangtua mereka. Walaupun saya memahami bahwa kehilangan barang itu berat, tapi membayangkan terbatasnya aktivitas akibat kepungan banjir jauh lebih sulit.

Kalau boleh jujur, langkah hebat seperti apa yang bisa dilakukan saat banjir bandang datang misalnya? Ya mungkin saat ada orang jahat yang akan mengangkut barang berharga, kita bisa mencegahnya karena ada yang menjaga di rumah itu.

4 | Repot evakuasi

Kepungan banjir di perumahan kami memang terbilang parah. Air di jalanan bervariasi tingginya, rata-rata setinggi lutut hingga pangkal paha. Menurut saya yang belum pernah kebanjiran, sungguh merepotkan. Nah, inilah alasan orang tak mau mengungsi. Seperti tetangga kami yang lain. Mereka enggan mengevakuasi diri karena terbayang repotnya membawa barang.

Tentunya barang tak perlu dibawa semua. Pilih saja barang yang benar-benar penting untuk diselamatkan. Sisanya yang terlalu berat dan tak mungkin dibawa saat menembus banjir ditinggal saja. Ya pasrah sama Tuhan akan diapakan, sambil menanti perkembangan berikutnya. Itulah yang kami lakukan akhirnya. Barang-barang kami masukkan ke dalam container plastik besar lalu didorong oleh anak-anak karena container itu mengapung di permukaan air.

Memang harus berkorban karena kami harus berjalan kaki dari rumah menuju pos satpam yang tidak kebanjiran. Cukup menantanga karena genangan air semakin dalam. Kendaraan rodaa dua atau empat tak bisa jalan, jadi harus ditinggal. Demi bisa beraktivitas normal, terutama menggunakan kamar mandi dan masak, kami pun menempuh jalan berat itu. Perjalanan kira-kira sejauh 1 kilometer.

5 | Yakin banjir segera surut

Beberapa orang meyakini banjir akan segera surut sehingga mereka bertahan di rumah yang kebanjiran. Banjir di kota kami konon sudah biasa, tapi tidak bagi kami yang belasan tahun tak pernah kebanjiran di Bogor. Lamongan bagian kota memang lumrah diserang banjir, tapi tentunya ada solusi yang bisa digagas kan? Tapi entah apa itu.

Semoga banjir segera surut dan hujan sementara ditahan untuk tidak turun lagi. Kalaupun turun ya jangan terlalu deras, hehe. Ini sungguh manusiawi, permintaan macam-macam seolah mengatur Tuhan demi kepentingan duniawi padahal kepentingan akhirat sering dilalaikan, bahkan secara sengaja atau malah dinikmati. 

Pelajaran berharga dari banjir: alam sudah lelah dizalimi manusia, manusia harus belajar merelakan yang dicintainya. Terlalu banyak manusia meminta tetapi enggan membalas kebaikan kepada alam dengan menjaga kesimbangannya. Sudah saatnya manusia kembali tersungkur, mengakui kebodohan dan keterbatasan dengan memperbaiki perilaku. 

Share:

Orang Terpandai di Dunia

Waktu SMP kelas 2 saya sempat ikut tes IQ untuk kali pertama. Hasilnya lumayan, di atas rata-rata, kalau tak salah 113. Konon skor rata-rata adalah 100 sehingga semakin besar skor yang dicetak semakin cerdas pula orang itu. Namun satu hal yang perlu dicatat, signifikansi tes IQ atau Intelligence Quotient masih belum bisa dipastikan.

Singkat kata, besar atau kecil skor dalam tes IQ belum tentu menunjukkan kepandaian seseorang. Seandainya sewaktu Wolfgang Amadeus Mozart dan Charles Darwin masih hidup sudah ditemukan metode tes IQ, mereka terbilang sangat genius karena skornya diperkirakan mencapai 160-170. Wow banget kan?

Wanita terpandai di dunia, Marilyn vos Savant, dengan IQ 228 saat umur 10 tahun! (Sumber foto: indozone dot id)

Maka dunia pun terkagum ketika ada seorang anak berumur 10 tahun yang IQ-nya mencapai 228 yang berarti puluhan poin melampaui para genius yang kita kenal selama ini. Dialah Marilyn vos Savant, wanita kelahiran tahun 1946 yang kemudian mengenyam perkuliahan di Washington State University. Sayangnya Savant tidak bertahan lama di kampus karena bosan dengan kehidupan akademik.

Memilih jadi penulis

Hanya dua tahun ia berkuliah karena lebih terobsesi menjadi penulisan. Ia lalu menggeluti bidang keuangan dan investasi. Dalam waktu lima tahun dia ternyata mampu mengumpulkan cukup uang untuk menekuninya obsesinya sebagai penulis penuh waktu. Dia pun menelurkan buku pertamanya tahun 1990 berjudul Brain Building: Exercising Yourself Smarter.

Sejak saat itu, dia berhasil menerbitkan lebih dari 20 buku yang kemudian diterjemahkan ke dalam banyak bahasa asing. Salah satu bukunya yang fenomenal adalah Growing Up: a Classic American Childhood di mana ia menuturkan bahwa peluang anak-anak untuk sukses di masa depabln akan meningkat jika mereka memiliki tujuan yang jelas sejak belia. Yang paling penting, masih menurut Savant, kekalahan adalah kondisi sementara. Yang berbahaya adalah menyerah karena itu dapat membuat kekalahan menjadi langgeng.

Pada akhirnya, bukan soal pintar tidaknya penulis, melainkan bagaimana kita memahami realitas dan menempatkannya secara proporsional agar tidak membahayakan langkah kita menuju kesuksesan. Dengan ikhtiar dan doa, kerja keras akan membuahkan peluang yang positif. Seperti yang kita sering dengar, hasil tidak akan mengkhianati proses. Setuju?
Share:

Dilema Mengelola Lebih Dari Satu Blog

Mengelola lebih dari satu blog butuh keseriusan ekstra. Ada tantangan tersendiri untuk bisa konsisten mengisi blog yang berbeda-beda. Konsistensi memang problem utama dalam merawat sebuah blog. Jangankan tiga blog, kadang satu blog saja sudah cukup membuat kita kewalahan.

Di awal membuat blog boleh jadi semangat berapi-api. Melihat setiap deretan kalimat tertata rapi dalam rumah maya lalu diselingi gambar ciamik adalah hiburan murah tapi sangat bermakna. Ide atau kejadian yang terlewat bisa diabadikan dalam bentuk tulisan. Bisa dibaca kembali nanti ketika telah lama melewati momen atau pengalaman itu.

Rutinitas bisa berpotensi mengorbankan kualitas. (Foto: freepik dotcom)

Rutin dan tetap kreatif

Problem kedua mengampu beberapa blog sekaligus adalah sulitnya membagi tulisan jika tema tidak ditentukan sebelumnya. Jika dibagi pun, masalah lain akan muncul. Semakin spesifik tema yang digarap, semakin sulit pula menelurkan tulisan yang sesuai secara rutin. 

Selain pembagian tema dan kerutinan dalam menulis, mutu tulisan jadi isu berikutnya. Mempertahankan kualitas tulisan paa sejumlah blog bukan perkara mudah, apalagi jika dituntut dengan keteraturan memperbarui tulisan. 

Memang lebih menguntungkan kalau blog berniche khusus karena bisa dimonetisasi dengan berbagai cara. Selain AdSense, uang juga bisa diraup dari tulisan berbayar atas pesanan sponsor. Blog bertema khusus juga berpotensi bagus di Google search engine.

Bagaimana dengan sobat pembaca? Adakah yang punya kiat atau jurus dalam mengelola blog lebih dari satu?
Share:

Sample Text

Copyright © biografi seorang pelupa | Powered by Blogger Design by ronangelo | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com