Pekan ini menjadi waktu
yang berat buat kami sekeluarga. Hujan deras selama tiga hari membuat banjir
tak bisa kami hindari. Banjir menjadi hal mengejutkan karena saya yang sejak
kecil tinggal di Lamongan tak sekali pun pernah kebanjiran. Apalagi banjir di perumahan
kali ini cukup parah: air sampai masuk ke rumah di atas mata kaki orang dewasa
kira-kira setinggi 20 cm.
Tahun lalu rumah kami nyaris
kebanjiran, air tergenang di jalan depan, tak sampai masuk ke teras. Tahun ini
jauh berbeda. Bukan hanya genangan yang lebih dalam, tapi cakupannya begitu
luas. Mulai dari teras, ruang tamu dan kamar tidur, hingga kamar mandi dan
dapur. Teras diserang air dari arah depan, yang kebanyakan akibat luberan air
tambak. Ruang tamu dan kamar tidur kebanjiran karena air merembes dari tepian
ubin yang mungkin tak rapat. Sementara dapur terendam akibat tumpahan air dari
lubang pembuangan ke selokan.
|
Banjir tak bisa dihindari, manusia sudah turut lalai. |
5 alasan orang tak mengungsi
Karena tak bisa
beraktivitas normal, kami pun memutuskan mengungsi ke rumah adik yang juga
dihuni ibu. Tempatnya lebh tinggi dan sama sekali belum pernah kebanjiran. Berbeda
dengan kecamatan kota yang ternyata langganan banjir. Walaupun kami mengungsi,
ada pula sejumlah warga dan tetangga yang memilih bertahan di perumahan dengan
berbagai alasan.
1 | Tak ada tempat lain
Sebagian tidak mengungsi
karena mereka tak punya pilihan lagi selain bertahan di rumahnya yang
kebanjiran. Mungkin orangtuanya jauh, atau tak mungkin pindah ke penginapan
karena faktor biaya. Akhirnya mereka memilih berdiam di blok rumah
masing-masing dengan membentuk posko di rumah yang tidak kemasukan air.
2 | Menikmati kebersamaan
Alasan lain mengapa orang
tidak mengungsi walaupun rumahnya kebanjiran adalah ingin menikmati momen
kebersamaan bersama tetangga. Itulah yang saya tangkap dari sekilas pandang
saat mengevakuasi barang kemarin siang. Kapan lagi mereka bisa melewati masa
berharga dengan memasak bersama dan tinggal begitu berdekatan.
Sayangnya, ini malah
bertentangan dengan larangan physical distancing yang digencarkan
pemerintah akibat wabah corona yang tengah mendera. Bukan hanya potensi wabah
yang mengintai, tetapi ancaman penyakit lain juga ada. Gatal-gatal adalah
problem utama. Belum lagi masalah medis akibat sanitasi yang tidak steril. Lebih-lebih
jika ada penghuni balita atau manula, bahayanyaa bisa berlipat ganda.
3 | Menjaga barang
“Saya dan istri tidur di
sini khawatir kalau-kalau air datang jadi nanti kami bisa urus barang,” ujar
seorang tetangga kemarin. Anak balitanya sudah diungsikan ke rumah orangtua
mereka. Walaupun saya memahami bahwa kehilangan barang itu berat, tapi
membayangkan terbatasnya aktivitas akibat kepungan banjir jauh lebih sulit.
Kalau boleh jujur,
langkah hebat seperti apa yang bisa dilakukan saat banjir bandang datang
misalnya? Ya mungkin saat ada orang jahat yang akan mengangkut barang berharga,
kita bisa mencegahnya karena ada yang menjaga di rumah itu.
4 | Repot evakuasi
Kepungan banjir di
perumahan kami memang terbilang parah. Air di jalanan bervariasi tingginya,
rata-rata setinggi lutut hingga pangkal paha. Menurut saya yang belum pernah
kebanjiran, sungguh merepotkan. Nah, inilah alasan orang tak mau mengungsi. Seperti
tetangga kami yang lain. Mereka enggan mengevakuasi diri karena terbayang
repotnya membawa barang.
Tentunya barang tak perlu
dibawa semua. Pilih saja barang yang benar-benar penting untuk diselamatkan. Sisanya
yang terlalu berat dan tak mungkin dibawa saat menembus banjir ditinggal saja.
Ya pasrah sama Tuhan akan diapakan, sambil menanti perkembangan berikutnya. Itulah
yang kami lakukan akhirnya. Barang-barang kami masukkan ke dalam container
plastik besar lalu didorong oleh anak-anak karena container itu
mengapung di permukaan air.
Memang harus berkorban
karena kami harus berjalan kaki dari rumah menuju pos satpam yang tidak
kebanjiran. Cukup menantanga karena genangan air semakin dalam. Kendaraan rodaa
dua atau empat tak bisa jalan, jadi harus ditinggal. Demi bisa beraktivitas
normal, terutama menggunakan kamar mandi dan masak, kami pun menempuh jalan
berat itu. Perjalanan kira-kira sejauh 1 kilometer.
5 | Yakin banjir segera
surut
Beberapa orang meyakini
banjir akan segera surut sehingga mereka bertahan di rumah yang kebanjiran. Banjir
di kota kami konon sudah biasa, tapi tidak bagi kami yang belasan tahun tak
pernah kebanjiran di Bogor. Lamongan bagian kota memang lumrah diserang banjir,
tapi tentunya ada solusi yang bisa digagas kan? Tapi entah apa itu.
Semoga banjir segera
surut dan hujan sementara ditahan untuk tidak turun lagi. Kalaupun turun ya
jangan terlalu deras, hehe. Ini sungguh manusiawi, permintaan macam-macam
seolah mengatur Tuhan demi kepentingan duniawi padahal kepentingan akhirat
sering dilalaikan, bahkan secara sengaja atau malah dinikmati.
Pelajaran berharga
dari banjir: alam sudah lelah dizalimi manusia, manusia harus belajar merelakan
yang dicintainya. Terlalu banyak manusia meminta tetapi enggan membalas kebaikan kepada alam dengan menjaga kesimbangannya. Sudah saatnya manusia kembali tersungkur, mengakui kebodohan dan keterbatasan dengan memperbaiki perilaku.