Technology

3/Technology/post-list

Lima Pelajaran Dari Virus Corona (2)

Setelah membahas lima pelajaran akibat virus Corona yang kini merajalela, ternyata masih ada lima pelajaran lain yang sangat positif. Kita sebut saja ini hikmah. Nikmat berbalut azab, bisakah kita mengatakan demikian? Bagaimana mungkin ini bukan blessing in disguise sementara dampaknya begitu berarti bagi manusia seluruhnya.

Sumber foto: mobile.abc.net.au

1 | Berperilaku lebih sehat

Karena tak ingin terkena infeksi virus Corona, setiap orang--tua atau muda--kini semakin peduli pada kesehatan mereka. Setiap hari perilaku sehat kian digalakkan. Bukan hanya mandi yang dirutinkan, tetapi juga cuci tangan menggunakan sabun dan hand sanitizer. Selain rajin berolahraga dan berjemur di pagi hari, makan buah dan sayur juga jadi prioritas utama.  

2 | Bersikap lebih religius

Sebagai makhluk Tuhan yang kerdil dan tak berdaya, wabah Corona membuat manusia kian menyadari ketakberdayaan mereka. Bahkan terhadap makhluk Tuhan sekecil virus Corona pun kita ternyata tak berkutik sehingga mau tak mau harus berserah sepenuhnya kepada Allah. Oleh karena itulah, wabah Corona mendorong manusia menjadi semakin religius. 

Meski shalat berjemaah tidak dianjurkan diadakan lagi, termasuk shalat Jumat bagi kaum muslim, tetapi peribadatan di rumah bisa dipastikan semakin intens. Orang-orang banyak membaca Quran atau kitab suci mereka, lebih banyak mengobrol dengan keluarga dan bersama-sama mewujudkan keluarga yang dekat dengan Tuhan.

3| Lebih hemat

Karena anjuran social distancing digalakkan, perhelatan sosial pun berkurang. Pernikahan bisa dihelat lebih sederhana tanpa resepsi mewah yang menghabiskan dana belasan bahkan puluhan juta. Yang biasanya kongko dan nongkrong di kafe untuk jajan pun kini berdiam di rumah sehingga pengeluaran bisa ditekan. Ya memang masih bisa pesan makanan lewat layanan ojek daring seperti Grab Food dan GoFood, tetapi frekuensinya bisa sedikit dijarangkan karena khawatir juga bersinggungan dengan pengemudi.

4 | Lebih kreatif

Wabah Corona rupanya mampu membuat orang-orang lebih kreatif. Selama berada #dirumahsaja, atau Work From Home, banyak juga yang menghasilkan buku, video, dan banyak karya kreatif yang mungkin tak lahir seandainya Corona tak terjadi. Buku-buku asing diterjemahkan dan dihimpun menjadi PDF lalu dibagikan secara cuma-cuma. Tapi hati-hati juga sama e-book yang tidak resmi alias bajakan tanpa sepengetahuan penerbit/penulisnya, itu termasuk pelanggaran jadi enggak berkah.

5 | Lebih banyak barang gratisan 

Berkaitan dengan poin keempat, karena banyak orang terdorong bertindak kreatif, maka konsekuensinya banyak pula hal gratisan yang dibagi-bagikan. Komik tentang Corona dengan ilustrasi menawan bisa didapat tanpa bayar sepeser pun. Belum lagi materi kampanye berbentuk video atau platform lainnya.

Corona ternyata mengubah orang menjadi lebih positif walau terus dilanda kekhawatiran akan wabah yang belum juga ditemukan penawarnya ini. Yang penting tetap berusaha dan berpikir positif, selebihnya bertawakal kepada Allah. Semoga Corona segera berlalu mengingat sekarang sudah bulan Sya'ban dan akan diikuti Ramadhan.

Di tengah kecamuk wabah yang cukup menyita pikiran dan berdampak serius pada kehidupan sosial juga ekonomi, sebaiknya kita berpartisipasi aktif dengan mengurangi berita negatif yang bermuatan hoaks atau sekadar menakut-nakuti. Kalau harus membagikan kabar, cobalah menyaring terlebih dahulu. Mari perbanyak doa dan karya selama berada di rumah.

Bagaimana kabar kota teman-teman?
Share:

Lima Pelajaran Dari Virus Corona (1)

Wabah Corona yang telah berlangsung selama beberapa bulan rupanya mengajarkan banyak hal bagi saya pribadi. Pelajaran penting untuk dicatat agar terus diingat, sama seperti tagline blog ini. Sejumlah pelajaran itu bersifat positif, tapi ada juga yang sebaliknya. Namun, baik atau buruk pelajaran.

Sumber gambar: freepik dotcom

1 | Manusia sungguh kerdil

Bukan hanya kerdil, manusia juga tak berdaya. Di hadapan virus yang tak kentara, mereka tak bisa apa-apa. Tak sanggup melawan secara frontal. Tiada mampu menyerang kecuali berikhtiar.

2 | Takut mati 

Saya pun demikian, takut mati, karena merasa masih banyak dosa. Merasa bergelimang dosa tapi anehnya enggan bertobat dan memperbaiki diri sehingga semakin siap menghadap Tuhan.

3 | Egoistis

Masker dan hand sanitizer menjadi barang langka di saat wabah melanda. Kami sekeluarga tak kebagian satu pun, setidaknya di apotek dekat rumah. Bayclin ikut menjadi incaran orang sehingga sulit didapatkan. Ataupun kalau ada, harganya sangat tak masuk akal.

4 | Homo homini lupus

Tega menipu, salah satunya menipu lewat kedok penjualan masker. Sudah harganya mahal, transaksi pun dibatalkan, dalam arti pembeli dikelabui. Uang muka diterima tapi barang tak pernah dikirimkan.

5 | Mau berkorban   

Dokter dan tenaga medis, juga para sukarelawan di mana pun berjibaku membantu para korban dan warga yang potensial terpapar agar mendapat peralatan atau perawatan memadai. Bahkan ada dokter yang mengorbankan nyawanya demi menyelamatkan pasien Corona. Sungguh berkebalikan dengan poin keempat.
Share:

Jumat Berkah ke Klaska, Pulang ke Rumah Macet Tak Terkira

Ke Surabaya lagi tanggal 6 Maret 2020, tentu dengan tujuan, bukan tanpa alasan apalagi sekadar jalan-jalan. Berangkat pagi menumpang kereta komuter Sulam pukul 06.00. Senin awal pekan sebenarnya saya hendak bertolak ke Surabaya untuk urusan serupa, tetapi batal mengingat tiket ludes terjual. Memang nahas karena aplikasi KAI Access tak bisa saya pergunakan, entah kenapa selalu time out.

Hari Selasa hingga Kamis Bunda XI punya agenda di perpustakaan daerah, ikut workshop yang dihelat Balai Bahasa Surabaya. Jadi tak mungkin saya ke Surabaya selama tiga hari itu mengingat harus ada yang bertugas menjemput duo Xi. Alhamdulillah acara Bunda lancar dan Jumat pagi saya bisa berangkat ke Surabaya dengan menumpang komuter Sulam.

Naik Suroboyo Bus lagi

Tiba di Pasar Turi pukul 7 lewat sekian menit, saya langsung berjalan kaki ke Halte Pasar Turi yang terletak tepat di sebelah Monumen Tugu Pahlawan. Dari sana saya bergerak ke kampus UINSA di Wonocolo dengan menumpang Suroboyo Bus. Irit, cepat, dan nyaman. Untunglah masih ada stiker yang bisa dipakai sebagai tiket. Saya bahkan ketemu kenalan baru di atas bus yang juga bertolak dari Lamongan menuju Taman Bungkul untuk bertemu rekan kerjanya.

Mampir di kampus setelah menumpang Suroboyo Bus
Sesampai di Kampus Uinsa, saatnya bersih-bersih dan shalat sebentar. Jumat pagi di masjid kampus rupanya diadakan khatmil Quran yang dilakukan oleh para mahahsiswi. Tapi bukan itu yang mengherankan saya. Sewaktu memasuki gerbang kampus, ada sekelompok mahasiswa, yang belakangan saya ketahui dari pascasarjana Ekonomi Syariah, tengah menjajakan nasi bungkus secara murah meriah bahkan cuma-cuma.

Gerai makan gratis 

Siapa pun yang lewat boleh mengambil nasi untuk ditukar dengan harga sesuai kemampuan. Waktu saya keluar, saya sempat bercakap dengan mereka. Rupanya mereka rutin menghelat acara seperti itu setiap pekan, atau sudah memasuki sekian pekan. Saya salut dan mengambil foto mereka sembari menceritakan bahwa saya pun bergiat dalam komunitas serupa bernama Nasi Bungkus Community di Lamongan. Namun semuanya gratis tanpa bayar sepeser pun karena ada dukungan donatur tetap.

Selesai urusan di Uinsa, saya meluncur ke depan kampus Ubhara untuk bertolak ke Royal Plaza tempat saya menanti Abang Grab. Ivon dan temannya sedang dalam perjalanan ke Klaska Residence dari Stasiun Wonokromo. Saya pun menuju ke apartemen besutan Sinar Mas Land itu untuk menjemput hadiah. Hadiah kedua lomba blog yang diselenggarakan oleh Klaska beberapa pekan sebelumnya.

Hadiah bikin wajah semringah.
Alhamdulillah, sebuah Mi earbuds, kalender, tumblr keren, dan voucher spa saya terima dengan lancar. Kami berfoto lalu berpisah. Mama Ivon bergerak ke Terminal Bungur menuju Malang. Saya kembali ke Uinsa karena waktu Jumatan segera tiba. Selepas Jumatan, makan siang andalan ya di mana lagi selain Warung Tegal yang bikin kangen Bogor. Menu dan display-nya memang khas. Harganya murah meriah, porsi banyak, rasa ya lumayanlah.

Lama di jalan

Selepas Asar pulang ke Stasiun Pasar Turi. Namun kehabisan tiket karena akhir pekan. Balik lagi ke arah Wonocolo, lanjut ke Terminal Purabaya. Butuh waktu 3 jam untuk sampai di sana. Berangkat dari Pasar Turi jam setengah empat, sampai di Purabaya jam setengah 7. Sungguh sangat lama akibat hujan dan kemacetan.

Pulang ke Lamongan pun terhambat. Jalur dialihkan ke Meranti Gresik alih-alih jalan tol seperti biasa. Harusnya satu jam tiba, tapi sampai 2 jam. Ya sudah, akhirnya sampai rumah, alhamdulillah. Capai sungguh mendera, langsung mandi dan shalat. Tidur angler sampai esoknya kesiangan. Batal jadi imam Subuh di masjid.

Jumat berkah menjemput hadiah ke Klaska Residence walau pulang ke rumah cukup lama.

Share:

Dari Nmax Sampai Saldo Paxel dan Redbus

Sewaktu ikut Kelas Inspirasi Ponorogo Agustus silam, seorang relawan asal Bojonegoro terlihat asyik mengendarai Yamaha NMax berwarna hitam saat memasuki halaman parkir kantor desa tempat Refleksi dilaksanakan. Segera terbayang betapa nikmatnya bisa punya motor semigede itu sehingga Kelas Inspirasi di Jawa Timur bisa saya sambangi tanpa kendaraan umum. 

Namun setelah merenung kembali, saya urung menyimpan niat untuk memilikinya. Motornya memang terlihat gagah, mentereng, dan enak dikendarai untuk perjalanan jarak jauh. Kapasitas mesin dan desain bodi rasanya akan menyumbangkan pada kenyamanan selama berada di jalan. Alangkah nyaman berkendara sendiri tanpa harus direpotkan pesan tiket kereta atau tiket bus. Lebih murah dan lebih praktis. Tanpa harus ikut jadwal kendaraan umum. Bisa pulang kapan saja.

Kopi bikin tetap hepi.
Setelah gagal mencicipi kopi khas Ponorogo, saya lalu tak lagi tergoda punya motor Nmax. Apa sebab? Saya kira saya malah akan terlalu menyayanginya sehingga tak lagi tergerak untuk ikut kegiatan sosial dengan mengandalkannya. Alasan utamanya apa lagi kalau bukan isu keamanan. Mengendarai motor bagus jelas berpotensi mengundang orang jahat untuk merebutnya, misalnya. Apalagi saat cuaca hujan, saya bisa saja akan mencari alasan untuk malas berkendara. 

Cukup mahal

Itu salah satu alasan yang terbayang di benak. Alasan lain ya karena harga Nmax cukup mahal. Mungkin malah setara mobil bekas keluaran lama. Padahal fungsinya cukup terbatas, tanpa atap seperti kendaraan roda empat. Namun itu alasan pribadi yang membuat saya akhirnya tetap melirik transportasi umum.

Andalan utama tetaplah kereta. Karena lebih cepat dan nyaman, tanpa perlu menahan kebelet pipis. Di bus jarak pendek jarang disediakan toilet, keculi bus jarak jauh, tapi berimbas harga yang mahal. Seketika teringat bahwa saya mendapat saldo di Redbus untuk digunakan naik bus. Tapi ke mana? Belum ada tujuan. Coba bisa dipakai buat naik kereta, tentu lebih asyik.

Pada saat yang sama, saldo Paxel ratusan ribu juga belum bisa saya manfaatkan karena baru bisa digunakan di kota besar seperti Surabaya. Andaikan bisa dipakai, bakalan asyik deh pesan kopi yang stoknya makin menipis bisa jadi gratis dan cepat. Inilah sekelumit cerita yang mungkin tak penting. Jadi kangen ikut Kelas Inspirasi lagi. Bawa oleh-oleh kopi dan cerita menarik lainnya.
Share:

Johari Zein, Sosok Fenomenal di Bidang Logistik, Luncurkan Program Indonesia Berseri

Johari Zein yang dikenal sukses berkiprah di dunia bisnis jasa logistik benar-benar sosok yang inspiratif. Selain punya insting bisnis yang kuat, dia ternyata memiliki jiwa filantropis yang layak diteladani. Ini dibuktikan dengan diluncurkannya Program Indonesia Bersedekah Jariah atau disingkat Indonesia Berseri pada 17 Oktober 2019 di Jakarta. Salah satu konsentrasinya adalah program pembangunan, pengembangan, dan pemakmuran 99 masjid di delapan penjuru dunia yang diinisiasi oleh Johari Zein Foundation. 

Apa itu Johari Zein Foundation? Tak lain adalan lembaga filantropi yang didirikan oleh Johari yang bercita-cita menjadi wasilah demi terwujudnya umat yang bertakwa melalui pembangunan 99 masjid di 8 penjuru dunia. Digunakannya angka 99 merupakan simbol kesempurnaan sebagaimana tecermin dalam Asmaul Husna yang berjumlah sama. 

Muhammad Nuh selaku Ketua Badan Wakaf Indonesia mengapresiasi inisiatif Johari Zein Foundation.

Saat membuka acara gathering Paxel awal tahun 2019, Johari menegaskannya komitmennya untuk membantu sesama lewat tindakan kebaikan sekecil apa pun. Dan sudah semestinya kita mempraktikannya pula. Paxel yakni layanan antar sehari sampai merupakan wujud nyata bagaimana ia ingin membantu agar para pelaku UKM dan UMKM bisa berdaya melalui penjualan yang cepat dan praktis.

Itulah sebabnya para kurir di Paxel disebut happiness hero karena mereka semua bertugas atau mendapat amanah untuk mengantarkan kebaikan, bukan paket fisik belaka yang bernilai transaksional. Harus ada simbiosis mutualisme untuk bisa saling menopang agar maju dan berkembang.

Lewat Indonesia Berseri, Johari percaya bahwa bangsa Indonesia yang beriman akan mampu bergerak maju. Melalui masjid, umat akan meningkat keimanannya serta kondisi ekonominya lantaran senantiasa berada dalam lindungan Allah.

Menemukan Islam

“Saya lahir tahun 1954 di Medan dari keluarga pedagang sederhana, WNI Tionghoa, dalam lingkungan keluarga Budha namun di sekolahkan pada sekolah-sekolah Katolik sampai SMA. Alhamdulillah dalam perjalanan hidup saya, saya menemukan Islam sebagai agama saya. saya mualaf di tahun 1982, dan sejak saat itu, Al-Quran sebagai petunjuk hidup saya,” ujar Johari Zein dalam sambutannya pada peluncuran Program Indonesia Berseri di Jakarta Oktober lalu.

Pada usia ke 65 tahun, Johari telah mendedikasikan waktunya untuk membangun perusahaan logistik seperti JNE atau Jalur Nugraha Ekakurir yang kini melesat sebagai pemimpin ekspedisi. JNE sangat layak disebut sebagai perusahaan logistik yang berhasil menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

Banyak ilmu dan pengalaman spiritual

Johari mengaku sangat menikmati kiprahnya saat membangun dan mengelola JNE. “Alhamdulillah, sampai hari ini, JNE mampu bertahan sebagai market leader di bidang logistik di Indonesia. Saya menikmati perjalanan saya dengan JNE karena saya banyak mendapat ilmu dan pengalaman, selain uang yang cukup, saya bertemu dengan guru spiritual yang istimewa, bapak almarhum H. Soeprapto, dermawan dan entrepreneur luar biasa,” lanjut Djohari.

Pengalaman spiritual seperti itulah yang menginspirasi Johari untuk membentuk Johari Zein Foundation. Dari 99 masjid, kini Johari Zein Foundation telah membangun sebuah masjid di Lombok Utara yakni Masjid Zeinurrahim di desa Medana. Ibarat orang bertawaf, Johari Zein Foundation agar terus membangun masjid dari tempat ke tempat lainnya.

Perlunya fungsi pendidikan

Dalam kesempatan yang sama juga hadir Ketua Badan Wakaf Indonesia (BWI) Muhammad Nuh yang pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI. Nuh menuturkan bahwa ia mengapresiasi cita-cita yang diinisiasi oleh Johari Zein Foundation. Lebih lanjut ia menegaksn bahwa masjid yang akan dibangun nanti hendaknya punya empat fungsi masjid, yaitu fungsi peribadatan, pendidikan, ekonomi, dan kesehatan. Ini tentu selarasa dengan domain kepakaran yang dimiliki Johari Zein.

"Bukan sekedar membangun masjid biasa, tapi sebagai fungsi peradaban, minimal ada fungsi pendidikan, paling tidak ada PAUD, dan TPQ sehingga anak kecil sudah biasa mengenal Alquran," tutur Muhammad Nuh.

Seniman Dik Doank turut mendukung program Indonesia Berseri dan RBM.

Demi memuluskan terlaksananya Program Indonesia Berseri, Johari Zein Foundation membentuk komunitas Relawan Bangun Masjid (RBM) yang akan berperan untuk menghimpun, menyebarkan, dan mendukung program pembangunan peradaban manusia yang unggul dengan landasan akhlak mulia lewat masjid. RBM boleh dibilang adalah anak dari Program Indonesia Berseri Johari Zein Foundation.

Peluncurah Indonesia Berseri dan deklarasi RBM juga diramaikan oleh sejumlah tokoh nasional, antara lain seniman unik Dik Doank, Anggota Dewan Syariah Nasional MUI Kyai Cholil Nafis, Adiwarman Karim praktisi ekonomi Syariah, dan tentu saja Muhammad Nuh. Semoga kemajuan bangsa bisa diwujudkan melalui sumbangsih kecil yang digagas oleh Johari Zein Foundation.
Share:

Jalan-jalan ke Surabaya Lagi: Liputan Acer dan Makan di Warteg (Bagian 2)

Beruntung banget ponsel atau smartphone masih kembali ke pelukan, eciye. Betapa tidak, berkali-kali ke Surabaya baru kali ini hati mpot-mpotan gara-gara ketinggalan hape. Padahal hari itu harus komunikasi via WhatsApp dengan teman-teman yang juga akan meliput peluncuran Acer Predator yaitu gaming laptop yang sangat menggiurkan untuk dimiliki.

Ihya mengantar saya ke lokasi acara, sebuah resto kekinian yang terletak di sebuah rooftop ruko. Saat tiba di sana, suasana cukup ramai oleh banyak undangan yang sebagian besar gamer dan jurnalis. Tanpa menunggu lama, saya segera meraih piring untuk bersantap siang. 

Sayang sekali, untuk kaliber resto yang banyak dibicarakan di Surabaya, rasa makanannya tidak terlalu wow alias biasa-biasa saja. Baik pilihan menu maupun rasanya tidak mengesankan untuk dibahas. Mungkin mereka lebih menjual ambience unik di tengah kota yang langka. 

Kopdar sama Evi

Presentasi yang dilakukan oleh Pak Wiyaseno dan Mas Dimas dari Acer lumayan menyegarkan pikiran. Predator Triton 300 siap menggebrak pasar gaming nasional dengan harga 16 jutaan, terbilang murah dibanding merek pesaing, apalagi desain dan materialnya sangat wah.


Dalam acara ini kami sempat kopdar alias kopi darat dengan Evi Sri Rezeki, bloger Bandung yang kebetulan sedang merampungkan proyek di Surabaya. Ia dijemput suaminya tepat di depan Royal Plaza tempat kami semua berpisah. Walaupun singkat, perjumpaan sesama bloger adalah hadiah indah tersendiri.

Mbak Muna sudah meluncur ke Gedangan untuk meramaikan acara khitanan keponakannya. Anggi dan Mbak Nurul pulang ke rumah masing-masing, sedangkan Mbak Malica akhirnya pulang sendiri ke Lamongan lewat Bungurasih karena saya memutuskan menginap di Surabaya. 

Lezatnya makan di warteg

Minggu pagi saya harus bertolak ke Madiun yang dikenal dengan julukan Kota Gadis. Beginilah risiko hidup menjalani berbagai peran. Harus seimbang bekerja dan sosial. Capek juga sih, tapi senang. Daripada pulang ke Lamongan dan esok pagi berangkat lagi naik Sulam, saya pikir menginap di rumah Ihya jadi pilihan cerdas. Bisa sekalian istirahat dan makan di warteg. 

Haha, ya inilah kenikmatan yang selalu saya bayangkan ketika berkunjung ke rumahnya. Terletak di belakang kampus UINSA, tak heran jika di sekitar rumah sahabat saya ini dipenuhi warung makan khas mahasiswa salah satunya warteg yang menunya spesifik dan unik. 

Istri saya juga suka makan di warteg, semacam mengembalikan memori saat masih tinggal di Bogor. Harap maklum, Lamongan tidak punya warteg, apalagi mcdonald's yang seminggu saja konon langsung gulung tikar. 

Alhamdulillah, liputan lancar dan reuni sama Ihya kami rayakan di warteg langganan. Murah meriah tapi rasanya nendang banget. Baik pilihan menu dan rasa boleh dibilang melampaui resto tempat saya meliput acara Acer. Mungkinkah karena selera saya ndeso? Namanya bisnis kuliner, selera pelanggan bisa beda-beda.


Share:

Jalan-jalan ke Surabaya Lagi: Liputan Acer dan Makan di Warteg

HARI SABTU tanggal 23 November lalu saya kembali bepergian ke Surabaya. Sejak pindah ke Lamongan, Kota Pahlawan memang sering banget jadi tujuan karena di sanalah dihelat banyak acara seputar blogging atau peluncuran produk. Tak terkecuali hari Sabtu menjelang akhir bulan tersebut.

Meskipun Sabtu bukanlah waktu ideal untuk berkunjung ke Surabaya, saya harus bersemangat meluncur ke sana. Ya bagaimana tidak, semua itu demi asap dapur yang terus berkepul, hehe. Undangan meliput acara hampir selalu datang pada hari Sabtu atau akhir pekan. Surabaya sebagai kota besar, bisa diduga, selalu diwarnai kemacetan sejak siang hingga malam.

Sulam dan SB penyelamat kantong

Untunglah kereta api komuter Sulam alias Surabaya Lamongan sekarang beroperasi cukup sering. Masing-masing 3 kali dari dan ke Surabaya. Selain murah meriah, perjalanan menggunakan kereta komuter sangat menghemat waktu. Tak dapat kursi pun, perjalanan masih terbilang nyaman karena di dalamnya dilengkapi AC atau pendingin ruangan dan relatif cepat sampai dibandingkan bus.

Suroboyo Bus, moda transportasi umum yang hemat dan nyaman

Apalagi sekarang ada Suroboyo Bus (SB), inovasi pemerintah kota Surabaya yang jempolan banget. Bukan hanya mengoneksikan banyak tempat atau jalur penting, moda massal ini bisa ditumpangi cukup dengan menyerahkan sampah botol atau gelas air mineral. 10 gelas plastik sungguh sangat mudah didapat karena kini banyak masjid atau tempat umum yang menyediakan fasilitas air minum gratis. Tinggal pungut dan simpan di rumah untuk ditukar. 

Prosedur penukaran dan cara naiknya pernah saya bahas dalam blogpost berjudul "Cara Naik Suroboyo Bus dan 4 Alasan Kenapa Kalian Harus Mencobanya".  

Ngopi dan hape tertinggal

Setelah menumpang kereta pagi yaitu Komuter Sulam dan turun di Pasar Turi, saya bergegas ke Halte SB untuk membawa saya menuju kampus UINSA di kawasan Wonocolo. Lalu lintas rupanya lancar, mungkin karena masih cukup pagi. Setelah rehat sejenak di masjid kampus, seorang kawan menghampiri dengan maksud bisa minum kopi bersama di kedai tak jauh dari rumahnya.


Tiba di warkop, kami memesan kopi hitam dalam cangkir. Percakapan meluncur begitu saja, seputar banyak hal, mulai dari cerita masa lalu sewaktu SMA hingga soal dunia menulis yang sama-sama kami geluti. Perut lapar sebenarnya tapi tak ada nasi yang menarik untuk disantap di wakop itu. Kami pun lanjut mengobrol sampai seorang pembeli datang dan menumpang charging atau mengecas ponselnya.


Seketika saya jadi teringat pada hape Asus yang ternyata tertinggal di masjid kampus. Saya minta Ihya, teman saya itu, untuk memacu kendaraan dengan kilat menuju kampus. Saya ingat ponsel saya terakhir saya letakkan di bibir serambi saat saya memakai sepatu. Saya berbegas menemui Ihya di luar gerbang kampus karena tak bisa masuk tanpa STNK.


Syukur alhamdulillah, meskipun cukup lama tertinggal di sana, ponsel saya masih tergeletak aman. Berada di dekat sebuah helm entah milik siapa. Saya raih dan kembali ke motor Ihya untuk melanjutkan ngopi di warkop sebelumnya. Sungguh senang sekaligus deg-degan.


Mal Royal Plaza, strategis dan bisa ke mana-mana

Sabtu mendebarkan

Selepas shalat Zuhur, kami beranjak meninggalkan warkop. Dia akan mengantar saya ke resto tempat saya meliput acara hari itu. Tiba di jalan raya agak jauh, saya baru teringat bahwa hape saya ketinggalan lagi di warkop saat saya menumpang charging karena saya tak membawa charger. Begitu tiba di warkop lagi, alhamdulillah, hape aman. Saya ambil dan permisi. Coba kalau saya tidak membonceng Ihya, mungkin bakal jalan kaki atau bahkan lari agar bisa sehat dan cepat hehe.

Begitulah sepenggal kisah Sabtu yang penuh drama mendebarkan. Selepas liputan saya menginap di rumah Ihya karena Minggu pagi saya akan bertolak ke Madiun untuk ikut Kelas Inspirasi. Mengingat Ihya ada perlu ke Tulungagung pagi hari, saya akhirnya minta diturunkan di depan Royal Plaza untuk menunggu Suroboyo Bus menuju KBS, tempat saya kemudian memesan ojek daring menuju Stasiun Wonokromo.
Share:

Sample Text

Copyright © biografi seorang pelupa | Powered by Blogger Design by ronangelo | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com